Menjadi backpacker professional memang
seperti belajar naik motor. Butuh banyak latihan dan keberanian untuk bisa
mahir dalam menjalankannya. Juga butuh seseorang yang sudah mahir untuk
mengajarkan dan menemani kita untuk menjalaninya. Tapi apa jadinya jika yang
akan melakukan perjalanan ala backpacker ini adala orang-orang yang belum punya
pengalaman sama sekali.
Dan ini nyata terjadi. Aku, Lulu, dan
Wiwin, tiga orang yang sok-sokaan sudah punya banyak pengalaman melakukan
backpacking. Malam itu, malam sabtu seperti biasa acara kumpul-kumpul saat
weekend, tiba-tiba saja tercetus ide untuk melakukan perjalanan ala anak muda
yang minim budget dan berdasar pada kehidupan bebas. Tujuan kami? Gili Air.
Jujur saja, di antara kami bertiga, belum ada yang pernah menginjakkan kaki di
sana. Aku? Hanya pernah ke Trawangan. Itu pun dulu judulnya untuk tugas kampus.
Karena bersama teman sekelas dan dosen, jadi keamanan dan keselamatan pasti
terjamin. Nah, sekarang? Neng nong neng. Aku bahkan belum berani memikirkan
kemungkunan-kemungkinan yang bisa terjadi di sana.
Bukan apa-apa. Kami bertiga ini, selain
belum ada pengalaman sama sekali, juga mempunyai visi tentang traveling yang
sangat berbeda. Kami bahkan memperdebatkan hal ini cukup lama. Akhirnya, kami
punya beberapa rencana dalam perjalanan besok. Rencana A, usul Wiwin, menginap
di penginapan. Rencana B, rencanaku, tidur di tepi pantai menggunakan tenda.
Aku bahkan sempat berpikir perjalalanan ini tidak akan berjalan semulus jalan
Bypass BIL.
Wiwin punya konsep backpacking yang
nyaman dan aman. Pagi hari, menikmati sarapan lezat sambil disirami cahaya
mentari pagi. Siangnya, pergi berjemur dan menikmati panorama alam sekitar
sambil berbelanja. Sorenya, pergi bersepeda mengelilingi area wisata. Malamnya,
menonton atraksi kesenian dan pesta kembang api. Hmm, itu bukan backpacking.
Lebih tepatnya, tour mewah ala anak-anak orang kaya.
Lulu, lebih aneh lagi. Dia juga sangat
menjunjung tinggi kenyamanan dalam perjalanan. Dia ingin membawa semua
peralatan elektronik yang dia punya. Laptop, kamera DSLR, tablet, power bank,
dan seabrek pakaian yang menurutku tak sesuai dengan cuaca di gili. Katanya dia
ingin mengabadikan setiap sudut dan momen yang kami alami dan lihat di sana.
Helloooo, ini kan backpacking, bukan acara seminar. Dia juga inginnya tidur di penginapan.
Tapi, uangnya Cuma 30 ribu. Bisa beli apa itu? Untuk menyebrang saja, ongkos
pulang perginya 20 ribu. Dia juga tidak bisa hidup tanpa nasi dengan porsi
lumayan jumbo. Jadi, sepertinya pengeluaran untuk perbekalan akan sedikit meluber.
Belum lagi, inginnya nanti snorkling dan bersepeda keliling gili. Waduh! Siapa
yang nanggung ya?
Sepertinya, di antara kami bertiga
hanya aku yang punya pemikiran paling normal. Backpacking itu, yaa tidur bisa
di mana saja asal aman, makan seadanya, tidak membawa barang yang bisa
menyusahkan, dan pastinya tidak membuat kantong merana. Itulah backpacking yang
sebenarnya.
Apakah perjalanan ini akan berjalan
sesuai rencana? Atau malah menjadi perjalanan pertama dan terakhir kami bertiga
dalam suatu kelompok? Kita lihat saja. Yang pasti, semoga semua baik-baik saja
dan bisa memberikan pengalaman yang tak terlupakan yang akan kami kenang selama
hidup kami. Tunggu cerita selanjutnya.