Tulisan ini berdasarkan kisah nyata. untuk melindungi masa depan para tokoh di dalamnya, nama-nama yang ada dalam cerita ini disamarkan. makasiii!!
Mencari tempat tinggal yang nyaman memang gampang-gampang susah. Gampang, bagi mereka yang punya kantong cukup tebal. Susah, kalau kantong isinya pas-pasan. Ke sana ke mari mencari kos-kosan yang sesuai keinginan hati dan kemampuan kantong, tak jarang hanya berbuah nihil. Rasanya seperti mencari jarum di lautan lumpur Lapindo.
Sebenarnya
kos-kosanku yang sekarang cukup nyaman, harganya pun cukup bersahabat. Namun,
sisa waktu sewa yang menyisakan hitungan bulan mau tak mau membuatku
memikirkannya. Jujur, aku tak ingin pindah dari tempat ini. Akan tetapi,
mendengar pertanyaan, atau lebih tepatnya pernyataan Kak Ida malam jumat selesai
yasinan malam jumat kemarin membuatku merasa diusir secara halus.
“Adik-adik,
tanpa mengurangi asa hormat, kakak mau bertanya. Siapa saja yang mau lanjut
atau keluar segera konfirmasi ya. Karena
sedah ada beberapa orang yang mencari kamar. Terutama untuk Mina. Bagaimana?”
Aku tiba-tiba tersentak begitu namaku disebut.
“Iya
Kak?” tanyaku.
“Apa
mau lanjut atau gimana?” Belum sempat aku menjawab, beliau langsung menimpali
“Dipertimbangkan juga, asrama ini kan diutamakan untuk yang masih menempuh pendidikan.
Jadi sebaiknya segera diputuskan ya.”
Aku tak tahu harus menjawab apa. Akhirnya aku hanya bisa bilang “Iya
Kak.” Aku bingung. Hatiku galau.
Dengan
gaji pas-pasan, cicilan motor, uang belanja, sedikit nafkah untuk orangtua,
infak seadanya, dan segudang keinginan lainnya, aku harus benar-benar cermat
dalam memilih tempat tinggal yang layak huni namun dengan harga yang
bersahabat. Hmmm, bagaimana ya?
Aku
sampai-sampai berpikir untuk untuk pulang kampung saja, mencari penghidupan di
sanan tanpa harus dipusingkan dengan masalah tempat tinggal.
Hari-hari
berikutnya, pikiranku dipenuhi dengan masalah tempat tinggal yang tidak kunjung
ketemu. Aku memikirkan semua kemungkinan yang ada. Kembali tinggal di rumah kak
Topan? Dulu waktu semester tujuh aku hanya bertahan dua bulan saja tinggal di
sana. Idealismeku sebagai seorang mahasiswa membuatku tak nyaman melihat gaya
hidupnya dan istrinya. Pendidikan agama dan moral yang aku junjung tinggi tak
kutemui dalam kehidupan mereka. Akhirnya, dengan alasan KKN, aku berhasil
keluar dari rumah itu.
Aku
pun mulai beralih pada
kemungkinan yang lain. Menyewa di rumah Mbak Rina. Aku sempat ragu,mengingat
sifatku dan rekan kerjaku yang satu ini sangat bertolak belakang. Aku yang bisa
tidur dalam kondisi kamar seperti apapun sepertinya tidak akan coock dengan
beliau yang kalau mengepel, kita sampai bisa bercermin di lantai. Namun, semua
itu aku kesampingkan. Kuberanikan diri mengutarakan niatku. Jawabannya?
“Bisa
aja sih, asal bisa ngikut gaya hidup saya. Tau kan, saya orangnya kayak gimana?
Saya ga bisa ngeliat yang kotor-kotor walaupun Cuma dikit. Takutnya dek Mina
nanti tersinggung dengan perfeksionisme saya tentang kebersihan.” Hmmm, jawaban
yang menggantung. Tidak mengiyakan, tidak juga menolak.
Aku
pun mulai berpikir untuk menumpang di rumah Bu Yeni, atasanku. Yaa, dengan ikut
membantu bayar listrik dan air tentunya. Dia kan hanya tinggal dengan dua orang
adiknya, sedangkan papanya tinggal di luar pulau. Namun, aku berpikir ulang.
Dengan posisi beliau sebagai atasan dan aku sebagai bawahan, membuatku sangsi.
Dengan riwayat beliau yang suka “korslet” mendadak tanpa sebab yang jarang
diketahui, pasti hubungan kami di rumah akan sangat tidak nyaman. Pfft, aku pun
mengurungkan niatku.
Aku menceritakan kegundahanku pada Nurul, partner
kerjaku. “Coba rumah saya kamarnya tiga, kamu kan bisa tinggal di rumah saya
gratis,” aku rasa dia hanya mencoba menghibur. Aku pun tidak memikirkan
kemungkinan tinggal di rumahnya,
mengingat dia dan suaminya baru menikah beberapa bulan yang lalu. Dan pastinya
mereka butuh lebih banyak privasi.
Aku jadi teringat sebuah film yang berjudul The Best
Marigold Hotel yang bercerita tentang para lansia dari Inggris yang
menghabiskan masa pensiunnya di sebuah hotel bobrok di India. Setiap para
lansia itu mengeluhkan kondisi dan fasilitas hotel yang buruk, pengelolanya
selalu menjawab “ Semua akan baik-baik saja pada akhirnya. Dan apabila keadaan
belum juga membaik, maka itu bukan akhir.” Semoga saja :-)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
kalo sudah mampir, jangan lupa tinggalkan jejak okeh!