Jumat, 31 Mei 2013

Kos-kosan


Tulisan ini berdasarkan kisah nyata. untuk melindungi masa depan para tokoh di dalamnya, nama-nama yang ada dalam cerita ini disamarkan. makasiii!!
            Mencari tempat tinggal yang nyaman memang gampang-gampang susah. Gampang, bagi mereka yang punya kantong cukup tebal. Susah, kalau kantong isinya pas-pasan. Ke sana ke mari mencari kos-kosan yang sesuai keinginan hati dan kemampuan kantong, tak jarang hanya berbuah nihil. Rasanya seperti mencari jarum di lautan lumpur Lapindo.
Sebenarnya kos-kosanku yang sekarang cukup nyaman, harganya pun cukup bersahabat. Namun, sisa waktu sewa yang menyisakan hitungan bulan mau tak mau membuatku memikirkannya. Jujur, aku tak ingin pindah dari tempat ini. Akan tetapi, mendengar pertanyaan, atau lebih tepatnya pernyataan Kak Ida malam jumat selesai yasinan malam jumat kemarin membuatku merasa diusir secara halus.
“Adik-adik, tanpa mengurangi asa hormat, kakak mau bertanya. Siapa saja yang mau lanjut atau keluar  segera konfirmasi ya. Karena sedah ada beberapa orang yang mencari kamar. Terutama untuk Mina. Bagaimana?” Aku tiba-tiba tersentak begitu namaku disebut.
“Iya Kak?” tanyaku.
“Apa mau lanjut atau gimana?” Belum sempat aku menjawab, beliau langsung menimpali “Dipertimbangkan juga, asrama ini kan diutamakan untuk yang masih menempuh pendidikan. Jadi sebaiknya segera diputuskan ya.”  Aku tak tahu harus menjawab apa. Akhirnya aku hanya bisa bilang “Iya Kak.” Aku bingung. Hatiku galau.
Dengan gaji pas-pasan, cicilan motor, uang belanja, sedikit nafkah untuk orangtua, infak seadanya, dan segudang keinginan lainnya, aku harus benar-benar cermat dalam memilih tempat tinggal yang layak huni namun dengan harga yang bersahabat. Hmmm, bagaimana ya?
Aku sampai-sampai berpikir untuk untuk pulang kampung saja, mencari penghidupan di sanan tanpa harus dipusingkan dengan masalah tempat tinggal.
Hari-hari berikutnya, pikiranku dipenuhi dengan masalah tempat tinggal yang tidak kunjung ketemu. Aku memikirkan semua kemungkinan yang ada. Kembali tinggal di rumah kak Topan? Dulu waktu semester tujuh aku hanya bertahan dua bulan saja tinggal di sana. Idealismeku sebagai seorang mahasiswa membuatku tak nyaman melihat gaya hidupnya dan istrinya. Pendidikan agama dan moral yang aku junjung tinggi tak kutemui dalam kehidupan mereka. Akhirnya, dengan alasan KKN, aku berhasil keluar dari rumah itu.
Aku pun mulai beralih pada kemungkinan yang lain. Menyewa di rumah Mbak Rina. Aku sempat ragu,mengingat sifatku dan rekan kerjaku yang satu ini sangat bertolak belakang. Aku yang bisa tidur dalam kondisi kamar seperti apapun sepertinya tidak akan coock dengan beliau yang kalau mengepel, kita sampai bisa bercermin di lantai. Namun, semua itu aku kesampingkan. Kuberanikan diri mengutarakan niatku. Jawabannya?
“Bisa aja sih, asal bisa ngikut gaya hidup saya. Tau kan, saya orangnya kayak gimana? Saya ga bisa ngeliat yang kotor-kotor walaupun Cuma dikit. Takutnya dek Mina nanti tersinggung dengan perfeksionisme saya tentang kebersihan.” Hmmm, jawaban yang menggantung. Tidak mengiyakan, tidak juga menolak.
Aku pun mulai berpikir untuk menumpang di rumah Bu Yeni, atasanku. Yaa, dengan ikut membantu bayar listrik dan air tentunya. Dia kan hanya tinggal dengan dua orang adiknya, sedangkan papanya tinggal di luar pulau. Namun, aku berpikir ulang. Dengan posisi beliau sebagai atasan dan aku sebagai bawahan, membuatku sangsi. Dengan riwayat beliau yang suka “korslet” mendadak tanpa sebab yang jarang diketahui, pasti hubungan kami di rumah akan sangat tidak nyaman.  Pfft, aku pun mengurungkan niatku.
Aku menceritakan kegundahanku pada Nurul, partner kerjaku. “Coba rumah saya kamarnya tiga, kamu kan bisa tinggal di rumah saya gratis,” aku rasa dia hanya mencoba menghibur. Aku pun tidak memikirkan kemungkinan  tinggal di rumahnya, mengingat dia dan suaminya baru menikah beberapa bulan yang lalu. Dan pastinya mereka butuh lebih banyak privasi.
Aku jadi teringat sebuah film yang berjudul The Best Marigold Hotel yang bercerita tentang para lansia dari Inggris yang menghabiskan masa pensiunnya di sebuah hotel bobrok di India. Setiap para lansia itu mengeluhkan kondisi dan fasilitas hotel yang buruk, pengelolanya selalu menjawab “ Semua akan baik-baik saja pada akhirnya. Dan apabila keadaan belum juga membaik, maka itu bukan akhir.” Semoga saja :-)  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kalo sudah mampir, jangan lupa tinggalkan jejak okeh!