Selasa, 09 Juli 2013

Car Free Day, Masihkah Sama? Part I



Car Free Day Jln. Udayana Mataram
      Car Free Day atau hari bebas berkendara sepertinya sudah menjadi agenda wajib di tiap daerah terutama di kota-kota besar. Kegiatan ini merupakan kegiatan yang digagas pemerintah untuk mengurangi polusi yang sudah dalam taraf yang membahayakan.
        Kegiatan ini biasanya dilakukan satu hari dalam seminggu yaitu hari Minggu. Yaa, mungkin karena 90% masyarakat perkotaan mendapat libur dari tempat kerjanya pada hari tersebut.
tak terkecuali di kota Mataram. Pusat perekonomian dan pemerintahan provinsi NTB ini pun tak mau ketinggalan menyelenggarakan Car Free Day. Lokasi yang dipilih pun adalah Jalan Udayana, jalan kebanggaan warga Mataram dan merupakan salah satu pusat pergaulan selain Mataram Mall dan Pantai Senggigi.
      Awalnya, Car Free Day memang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyatrakat akan bahayanya polusi udara. Kegiatan yang dilakukan pun hanya terbatas pada kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan peningkatan kesehatan seperti, Jogging, Senam, dan Bersepeda.
Namun, pada perkembangannya, Car Free Day bukan hanya dijadikan ajang kampanye anti-polusi. Ada berbagai macam kegiatan "sampingan" yang muncul seiring bertambahnya peminat "Jalan-jalan" ini.

1. Wisata Kuliner

      Dimana ada manusia, di sana ada makanan. Pepatah ini saya buat sendiri, hehe. Karena pada dasarnya semua makhluk hidup butuh makanan. Di arena Car free day ini, bisa kita jumpai puluhan kedai yang menjajakan makanan, mulai dari  makanan khas Lombok, sampai makanan dari luar daerah. Harganya pun beragam, mulai dari harga anak kos sampai harga pejabat.
Pedagang Kerak Telor dari Jakarta


Amanda Brownies dari Surabaya
Ubi Cilembu Sumedang
Sehabis berolahraga, para pengunjung biasanya langsung menyerbu kedai-kedai ini, kaarena biasanya perut sudah mulai lapar. Ada pula yang ke Udayana hanya untuk berburu kuliner. Tertarik mencobanya?

2. Butik Dadakan

      Sudah menjadi rahasia umum bahwa
para wanita Indonesia khususnya Ibu-Ibu amat gemar berbelanja pakaian. Inilah yang dimanfaatkan sebagian pedagang yang ingin meraup untung lebih di hari libur dengan menyulap trotoar di samping jalan menjadi etalase seadanya. Namun ini tak menyurutkan niat pembeli untuk berbelanja.
Etalase Jalanan

Ragam Pakaian dan aksesoris

    Berbagai jenis pakaian pun dijajakan. Mulai dari pakaian anak-anak, pakaian pria, pakaian wanita, mukena, batik, gorden?, pakaian olahraga, sepatu, sandal, tas, dan sebagainya. Wah wah wah, jika anda ingin berbelanja di sini, siapkan budget lebih. Karena harga barang di sini rata-rata naik 20-30% dari harga di pasaran pada umumnya.

3. Pasar Rakyat ( Pasar Odong-odong)

      Libur t'lah tiba, horreee..
      Lagu Tasya terebut sepertinya sangat mewakili perasaan anak-anak begitu hari sabtu pulang sekilah, Hari minggu, artinya libur, artinya jalan-jalan ke Udayana. Di sini, banyak sekali permainan untuk anak-anak. Begitu pun dengan penjual mainan anak-anak. Anak-anak seakan dimanjakan dengan banyaknya fasilitas permainan yang siap memuaskan hasrat bermain mereka. Sepertinya, kalau tidak direm, Anda akan kehabisan budget untuk yang lain apabila mengikuti setiap keinginan anak Anda untuk mencoba semua permainan yang disediakan.



4. Arena Lovey Dovey

     Tak dapat dipungkiri, muda-mudi jaman sekarang sudah tidak malu-malu lagi untuk mengumbar kemesraan di depan khalayak ramai. Arena Car Free Day pun tak luput menjadi ajang bagi pasangan cinta-cintaan ini untuk mengekspresikan rasa cinta mereka. 

     Suasana pagi yang sejuk, ditambah jajanan di mana-mana, membuat acara "kencan pagi" terasa makin mantap. Hahaha

       Tulisan ini masih belum tuntas. Bagian II akan diposkan dalam waktu dekat ^^



Kamis, 20 Juni 2013

Bola-bola Ubi


Kali ini ane mau bagi resep sederhana yang tercipta secara tak sengaja.
Langsung aja kita mulai ^_^

Bahan-bahan:

250 gr ubi kukus, kupas dan haluskan
250 gr gula pasir
1 butir telur
2 sdm tepung terigu
1 putih telur
1 bks tepung panir
1/2 butir kelapa, parut
Garam, secukupnya
Vanili bubuk, secukupnya.

Cara membuat:
1. Campurkan semua bahan-bahan kecuali putih telur dan tepung panir, aduk hingga rata.
2. Setelah tercampur rata, bentuk adonan menjadi bulatan-bulatan sebesar bola pingpong.
3. Celupkan bulatan tadi ke dalam putih telur.
4. Lumuri dengan tepung panir.
5. Goreng  dengan api sedang hingga coklat keemasan.
6. Angkat, sajikan.

Tips: Setelah ditiriskan, taruh kue dalam wadah yang terbuka sampai agak dingin agar menjadi agak keras dan garing. Apabila langsung dimasukkan ke dalam wadah tertutup atau plastik akan membuat kue menjadi lembek dan mudah hancur.

Rabu, 19 Juni 2013

Cita-cita



Cita-cita itu apa sih?
Dokter? Polisi? Astronot? Guru?
Punya mobil Bugatti? 
Punya rumah di Karibia?
Atau jadi raja minyak di Arab?
Bisa jadi itu adalah cita-cita sebagian besar orang-orang di dunia ini.
Cita-cita antara anak-anak dan orang dewasa mempunyai perbedaan yang cuku mencolok. Dikarenakan anak-anak biasanya mengidolakan orang-orang yang mereka anggap keren, ditambah lagi dengan kepolosan dan masih sederhananya pengertian mereka tentang cita-cita, biasanya mereka akan cenderung punya cita-cita menjadi orang-orang keren tersebut. Ketiika anak-anak ditanya tentang cita-cita mereka, sebagian besar akan menjawab dengan mantap ingin menjadi Polisi, Tentara, Dokter, Pilot, dan kawan-kawan. Akan sangat jarang kita mendengar ada anak yang bercita-cita menjadi seorang pedagang pasar atau tukang sapu jalan.

Aku jadi teringat seorang muidku di sekolah. Anak ini mempunyai karakter dan kepribadian yang lumayan spesial dibandingkan anak-anak seusianya. Di saat anak-anak lain bercita-cita menjadi deretan orang keren, dia malah menyebutkan cita-cita yang agak tak lazim. Pertama kali ditanya tentang cita-citanya, dengan polos dia menjawab ingin menjadi Dinosaurus (what???). Aku hampir saja tertawa mendengarnya. Usut punya usut, ternyata dia punya seabreg mainan dan DVD dinosaurus. Ada-ada saja. Tak berselang lama, cita-citanya berubah. Dia inggin jadi anak pembantu (hahh??). Mungkin Ibunya akan shock mendengar anak kesayangannya malah ingin menjadi anak pembantunya. Yang terbaru, dia ingin menjadi Kupu-kupu (hewan lagi). Katanya, Kupu-kupu itu cantik dan lucu, baik lagi. Ya sudahlah, cita-cita yang sangat sederhana namun nampaknya tak akan mungkin jadi kenyataan.

Cita-cita akan menemukan bentuk riilnya ketika kita sudah mulai beranjak dewasa dan mempunyai kebutuhan yang lebih kompleks. Justru, di sinilah cita-cita itu menjadi sesuatu yang sangat sederhana. Sederhana, ketika kita mendapati Ibu kita sudah mulai berkurang penglihatannya, kita pun bercita-cita gajian bulan depan akan membelikan beliau sebuah kacamata. Saat melintasi sebuah hotel atau restoran mewah, kita bercita-cita suatu saat akan menjadi tamu di tempat tersebut minimal sekali seumur hidup kita.
Cita-cita orang dewasa, dengan segala kesederhanaannya, justru membuat saya bertanya, apakah cita-cita kita saat kecil dulu yang setinggi langit sudah tercapai, atau malah terkubur dalam akibat kejamnya kenyataan hidup yang kita hadapi, dan tergantikan dengan cita-cita sederhana oang dewasa?
Sekali lagi, cita-cita itu sederhana, sesederhana kayu yang berubah jadi arang ketika terkena api.


Selasa, 04 Juni 2013

Momentum

Melihat gambar ini apa yang muncul di benak anda?
The Matrix? Kamera DSLR supercanggih? ato Fotografer nomor wahid?
Sebaiknya, tepis saja perkiraan-perkiraan tadi. Karena ini hanya foto seorang suami pemalas yang dilempar oleh istrinya yang kesal. Kameranya pun hanya kamera HP kelas VGA. Dari gambar ini saya mendapatkan sebuah kesimpulan, bahwasanya kualitas yang bagus tidak melulu karena fasilitas yang wah, orang-orang super, atau  lokasi yang sangat strategis. Akan tetapi karena ketepatan momen dan harmoni yang tercipta antara elemen-elemen pendukungnya.
Colek si LuLu, semoga segera punya kamera DSLR.

Jumat, 31 Mei 2013

Backpacking A La 3 Tuyul

Tulisan ini berdasarkan kisah nyata. Kali ini, para tokohnya pakai nama asli. Jangan marah Yaaa! hahaha




Menjadi backpacker professional memang seperti belajar naik motor. Butuh banyak latihan dan keberanian untuk bisa mahir dalam menjalankannya. Juga butuh seseorang yang sudah mahir untuk mengajarkan dan menemani kita untuk menjalaninya. Tapi apa jadinya jika yang akan melakukan perjalanan ala backpacker ini adala orang-orang yang belum punya pengalaman sama sekali.
Dan ini nyata terjadi. Aku, Lulu, dan Wiwin, tiga orang yang sok-sokaan sudah punya banyak pengalaman melakukan backpacking. Malam itu, malam sabtu seperti biasa acara kumpul-kumpul saat weekend, tiba-tiba saja tercetus ide untuk melakukan perjalanan ala anak muda yang minim budget dan berdasar pada kehidupan bebas. Tujuan kami? Gili Air. Jujur saja, di antara kami bertiga, belum ada yang pernah menginjakkan kaki di sana. Aku? Hanya pernah ke Trawangan. Itu pun dulu judulnya untuk tugas kampus. Karena bersama teman sekelas dan dosen, jadi keamanan dan keselamatan pasti terjamin. Nah, sekarang? Neng nong neng. Aku bahkan belum berani memikirkan kemungkunan-kemungkinan yang bisa terjadi di sana.
Bukan apa-apa. Kami bertiga ini, selain belum ada pengalaman sama sekali, juga mempunyai visi tentang traveling yang sangat berbeda. Kami bahkan memperdebatkan hal ini cukup lama. Akhirnya, kami punya beberapa rencana dalam perjalanan besok. Rencana A, usul Wiwin, menginap di penginapan. Rencana B, rencanaku, tidur di tepi pantai menggunakan tenda. Aku bahkan sempat berpikir perjalalanan ini tidak akan berjalan semulus jalan Bypass BIL.
Wiwin punya konsep backpacking yang nyaman dan aman. Pagi hari, menikmati sarapan lezat sambil disirami cahaya mentari pagi. Siangnya, pergi berjemur dan menikmati panorama alam sekitar sambil berbelanja. Sorenya, pergi bersepeda mengelilingi area wisata. Malamnya, menonton atraksi kesenian dan pesta kembang api. Hmm, itu bukan backpacking. Lebih tepatnya, tour mewah ala anak-anak orang kaya.
Lulu, lebih aneh lagi. Dia juga sangat menjunjung tinggi kenyamanan dalam perjalanan. Dia ingin membawa semua peralatan elektronik yang dia punya. Laptop, kamera DSLR, tablet, power bank, dan seabrek pakaian yang menurutku tak sesuai dengan cuaca di gili. Katanya dia ingin mengabadikan setiap sudut dan momen yang kami alami dan lihat di sana. Helloooo, ini kan backpacking, bukan acara seminar. Dia juga inginnya tidur di penginapan. Tapi, uangnya Cuma 30 ribu. Bisa beli apa itu? Untuk menyebrang saja, ongkos pulang perginya 20 ribu. Dia juga tidak bisa hidup tanpa nasi dengan porsi lumayan jumbo. Jadi, sepertinya pengeluaran untuk perbekalan akan sedikit meluber. Belum lagi, inginnya nanti snorkling dan bersepeda keliling gili. Waduh! Siapa yang nanggung ya?
Sepertinya, di antara kami bertiga hanya aku yang punya pemikiran paling normal. Backpacking itu, yaa tidur bisa di mana saja asal aman, makan seadanya, tidak membawa barang yang bisa menyusahkan, dan pastinya tidak membuat kantong merana. Itulah backpacking yang sebenarnya.
Apakah perjalanan ini akan berjalan sesuai rencana? Atau malah menjadi perjalanan pertama dan terakhir kami bertiga dalam suatu kelompok? Kita lihat saja. Yang pasti, semoga semua baik-baik saja dan bisa memberikan pengalaman yang tak terlupakan yang akan kami kenang selama hidup kami. Tunggu cerita selanjutnya.
 

Kos-kosan


Tulisan ini berdasarkan kisah nyata. untuk melindungi masa depan para tokoh di dalamnya, nama-nama yang ada dalam cerita ini disamarkan. makasiii!!
            Mencari tempat tinggal yang nyaman memang gampang-gampang susah. Gampang, bagi mereka yang punya kantong cukup tebal. Susah, kalau kantong isinya pas-pasan. Ke sana ke mari mencari kos-kosan yang sesuai keinginan hati dan kemampuan kantong, tak jarang hanya berbuah nihil. Rasanya seperti mencari jarum di lautan lumpur Lapindo.
Sebenarnya kos-kosanku yang sekarang cukup nyaman, harganya pun cukup bersahabat. Namun, sisa waktu sewa yang menyisakan hitungan bulan mau tak mau membuatku memikirkannya. Jujur, aku tak ingin pindah dari tempat ini. Akan tetapi, mendengar pertanyaan, atau lebih tepatnya pernyataan Kak Ida malam jumat selesai yasinan malam jumat kemarin membuatku merasa diusir secara halus.
“Adik-adik, tanpa mengurangi asa hormat, kakak mau bertanya. Siapa saja yang mau lanjut atau keluar  segera konfirmasi ya. Karena sedah ada beberapa orang yang mencari kamar. Terutama untuk Mina. Bagaimana?” Aku tiba-tiba tersentak begitu namaku disebut.
“Iya Kak?” tanyaku.
“Apa mau lanjut atau gimana?” Belum sempat aku menjawab, beliau langsung menimpali “Dipertimbangkan juga, asrama ini kan diutamakan untuk yang masih menempuh pendidikan. Jadi sebaiknya segera diputuskan ya.”  Aku tak tahu harus menjawab apa. Akhirnya aku hanya bisa bilang “Iya Kak.” Aku bingung. Hatiku galau.
Dengan gaji pas-pasan, cicilan motor, uang belanja, sedikit nafkah untuk orangtua, infak seadanya, dan segudang keinginan lainnya, aku harus benar-benar cermat dalam memilih tempat tinggal yang layak huni namun dengan harga yang bersahabat. Hmmm, bagaimana ya?
Aku sampai-sampai berpikir untuk untuk pulang kampung saja, mencari penghidupan di sanan tanpa harus dipusingkan dengan masalah tempat tinggal.
Hari-hari berikutnya, pikiranku dipenuhi dengan masalah tempat tinggal yang tidak kunjung ketemu. Aku memikirkan semua kemungkinan yang ada. Kembali tinggal di rumah kak Topan? Dulu waktu semester tujuh aku hanya bertahan dua bulan saja tinggal di sana. Idealismeku sebagai seorang mahasiswa membuatku tak nyaman melihat gaya hidupnya dan istrinya. Pendidikan agama dan moral yang aku junjung tinggi tak kutemui dalam kehidupan mereka. Akhirnya, dengan alasan KKN, aku berhasil keluar dari rumah itu.
Aku pun mulai beralih pada kemungkinan yang lain. Menyewa di rumah Mbak Rina. Aku sempat ragu,mengingat sifatku dan rekan kerjaku yang satu ini sangat bertolak belakang. Aku yang bisa tidur dalam kondisi kamar seperti apapun sepertinya tidak akan coock dengan beliau yang kalau mengepel, kita sampai bisa bercermin di lantai. Namun, semua itu aku kesampingkan. Kuberanikan diri mengutarakan niatku. Jawabannya?
“Bisa aja sih, asal bisa ngikut gaya hidup saya. Tau kan, saya orangnya kayak gimana? Saya ga bisa ngeliat yang kotor-kotor walaupun Cuma dikit. Takutnya dek Mina nanti tersinggung dengan perfeksionisme saya tentang kebersihan.” Hmmm, jawaban yang menggantung. Tidak mengiyakan, tidak juga menolak.
Aku pun mulai berpikir untuk menumpang di rumah Bu Yeni, atasanku. Yaa, dengan ikut membantu bayar listrik dan air tentunya. Dia kan hanya tinggal dengan dua orang adiknya, sedangkan papanya tinggal di luar pulau. Namun, aku berpikir ulang. Dengan posisi beliau sebagai atasan dan aku sebagai bawahan, membuatku sangsi. Dengan riwayat beliau yang suka “korslet” mendadak tanpa sebab yang jarang diketahui, pasti hubungan kami di rumah akan sangat tidak nyaman.  Pfft, aku pun mengurungkan niatku.
Aku menceritakan kegundahanku pada Nurul, partner kerjaku. “Coba rumah saya kamarnya tiga, kamu kan bisa tinggal di rumah saya gratis,” aku rasa dia hanya mencoba menghibur. Aku pun tidak memikirkan kemungkinan  tinggal di rumahnya, mengingat dia dan suaminya baru menikah beberapa bulan yang lalu. Dan pastinya mereka butuh lebih banyak privasi.
Aku jadi teringat sebuah film yang berjudul The Best Marigold Hotel yang bercerita tentang para lansia dari Inggris yang menghabiskan masa pensiunnya di sebuah hotel bobrok di India. Setiap para lansia itu mengeluhkan kondisi dan fasilitas hotel yang buruk, pengelolanya selalu menjawab “ Semua akan baik-baik saja pada akhirnya. Dan apabila keadaan belum juga membaik, maka itu bukan akhir.” Semoga saja :-)