Jumat, 31 Mei 2013

Backpacking A La 3 Tuyul

Tulisan ini berdasarkan kisah nyata. Kali ini, para tokohnya pakai nama asli. Jangan marah Yaaa! hahaha




Menjadi backpacker professional memang seperti belajar naik motor. Butuh banyak latihan dan keberanian untuk bisa mahir dalam menjalankannya. Juga butuh seseorang yang sudah mahir untuk mengajarkan dan menemani kita untuk menjalaninya. Tapi apa jadinya jika yang akan melakukan perjalanan ala backpacker ini adala orang-orang yang belum punya pengalaman sama sekali.
Dan ini nyata terjadi. Aku, Lulu, dan Wiwin, tiga orang yang sok-sokaan sudah punya banyak pengalaman melakukan backpacking. Malam itu, malam sabtu seperti biasa acara kumpul-kumpul saat weekend, tiba-tiba saja tercetus ide untuk melakukan perjalanan ala anak muda yang minim budget dan berdasar pada kehidupan bebas. Tujuan kami? Gili Air. Jujur saja, di antara kami bertiga, belum ada yang pernah menginjakkan kaki di sana. Aku? Hanya pernah ke Trawangan. Itu pun dulu judulnya untuk tugas kampus. Karena bersama teman sekelas dan dosen, jadi keamanan dan keselamatan pasti terjamin. Nah, sekarang? Neng nong neng. Aku bahkan belum berani memikirkan kemungkunan-kemungkinan yang bisa terjadi di sana.
Bukan apa-apa. Kami bertiga ini, selain belum ada pengalaman sama sekali, juga mempunyai visi tentang traveling yang sangat berbeda. Kami bahkan memperdebatkan hal ini cukup lama. Akhirnya, kami punya beberapa rencana dalam perjalanan besok. Rencana A, usul Wiwin, menginap di penginapan. Rencana B, rencanaku, tidur di tepi pantai menggunakan tenda. Aku bahkan sempat berpikir perjalalanan ini tidak akan berjalan semulus jalan Bypass BIL.
Wiwin punya konsep backpacking yang nyaman dan aman. Pagi hari, menikmati sarapan lezat sambil disirami cahaya mentari pagi. Siangnya, pergi berjemur dan menikmati panorama alam sekitar sambil berbelanja. Sorenya, pergi bersepeda mengelilingi area wisata. Malamnya, menonton atraksi kesenian dan pesta kembang api. Hmm, itu bukan backpacking. Lebih tepatnya, tour mewah ala anak-anak orang kaya.
Lulu, lebih aneh lagi. Dia juga sangat menjunjung tinggi kenyamanan dalam perjalanan. Dia ingin membawa semua peralatan elektronik yang dia punya. Laptop, kamera DSLR, tablet, power bank, dan seabrek pakaian yang menurutku tak sesuai dengan cuaca di gili. Katanya dia ingin mengabadikan setiap sudut dan momen yang kami alami dan lihat di sana. Helloooo, ini kan backpacking, bukan acara seminar. Dia juga inginnya tidur di penginapan. Tapi, uangnya Cuma 30 ribu. Bisa beli apa itu? Untuk menyebrang saja, ongkos pulang perginya 20 ribu. Dia juga tidak bisa hidup tanpa nasi dengan porsi lumayan jumbo. Jadi, sepertinya pengeluaran untuk perbekalan akan sedikit meluber. Belum lagi, inginnya nanti snorkling dan bersepeda keliling gili. Waduh! Siapa yang nanggung ya?
Sepertinya, di antara kami bertiga hanya aku yang punya pemikiran paling normal. Backpacking itu, yaa tidur bisa di mana saja asal aman, makan seadanya, tidak membawa barang yang bisa menyusahkan, dan pastinya tidak membuat kantong merana. Itulah backpacking yang sebenarnya.
Apakah perjalanan ini akan berjalan sesuai rencana? Atau malah menjadi perjalanan pertama dan terakhir kami bertiga dalam suatu kelompok? Kita lihat saja. Yang pasti, semoga semua baik-baik saja dan bisa memberikan pengalaman yang tak terlupakan yang akan kami kenang selama hidup kami. Tunggu cerita selanjutnya.
 

Kos-kosan


Tulisan ini berdasarkan kisah nyata. untuk melindungi masa depan para tokoh di dalamnya, nama-nama yang ada dalam cerita ini disamarkan. makasiii!!
            Mencari tempat tinggal yang nyaman memang gampang-gampang susah. Gampang, bagi mereka yang punya kantong cukup tebal. Susah, kalau kantong isinya pas-pasan. Ke sana ke mari mencari kos-kosan yang sesuai keinginan hati dan kemampuan kantong, tak jarang hanya berbuah nihil. Rasanya seperti mencari jarum di lautan lumpur Lapindo.
Sebenarnya kos-kosanku yang sekarang cukup nyaman, harganya pun cukup bersahabat. Namun, sisa waktu sewa yang menyisakan hitungan bulan mau tak mau membuatku memikirkannya. Jujur, aku tak ingin pindah dari tempat ini. Akan tetapi, mendengar pertanyaan, atau lebih tepatnya pernyataan Kak Ida malam jumat selesai yasinan malam jumat kemarin membuatku merasa diusir secara halus.
“Adik-adik, tanpa mengurangi asa hormat, kakak mau bertanya. Siapa saja yang mau lanjut atau keluar  segera konfirmasi ya. Karena sedah ada beberapa orang yang mencari kamar. Terutama untuk Mina. Bagaimana?” Aku tiba-tiba tersentak begitu namaku disebut.
“Iya Kak?” tanyaku.
“Apa mau lanjut atau gimana?” Belum sempat aku menjawab, beliau langsung menimpali “Dipertimbangkan juga, asrama ini kan diutamakan untuk yang masih menempuh pendidikan. Jadi sebaiknya segera diputuskan ya.”  Aku tak tahu harus menjawab apa. Akhirnya aku hanya bisa bilang “Iya Kak.” Aku bingung. Hatiku galau.
Dengan gaji pas-pasan, cicilan motor, uang belanja, sedikit nafkah untuk orangtua, infak seadanya, dan segudang keinginan lainnya, aku harus benar-benar cermat dalam memilih tempat tinggal yang layak huni namun dengan harga yang bersahabat. Hmmm, bagaimana ya?
Aku sampai-sampai berpikir untuk untuk pulang kampung saja, mencari penghidupan di sanan tanpa harus dipusingkan dengan masalah tempat tinggal.
Hari-hari berikutnya, pikiranku dipenuhi dengan masalah tempat tinggal yang tidak kunjung ketemu. Aku memikirkan semua kemungkinan yang ada. Kembali tinggal di rumah kak Topan? Dulu waktu semester tujuh aku hanya bertahan dua bulan saja tinggal di sana. Idealismeku sebagai seorang mahasiswa membuatku tak nyaman melihat gaya hidupnya dan istrinya. Pendidikan agama dan moral yang aku junjung tinggi tak kutemui dalam kehidupan mereka. Akhirnya, dengan alasan KKN, aku berhasil keluar dari rumah itu.
Aku pun mulai beralih pada kemungkinan yang lain. Menyewa di rumah Mbak Rina. Aku sempat ragu,mengingat sifatku dan rekan kerjaku yang satu ini sangat bertolak belakang. Aku yang bisa tidur dalam kondisi kamar seperti apapun sepertinya tidak akan coock dengan beliau yang kalau mengepel, kita sampai bisa bercermin di lantai. Namun, semua itu aku kesampingkan. Kuberanikan diri mengutarakan niatku. Jawabannya?
“Bisa aja sih, asal bisa ngikut gaya hidup saya. Tau kan, saya orangnya kayak gimana? Saya ga bisa ngeliat yang kotor-kotor walaupun Cuma dikit. Takutnya dek Mina nanti tersinggung dengan perfeksionisme saya tentang kebersihan.” Hmmm, jawaban yang menggantung. Tidak mengiyakan, tidak juga menolak.
Aku pun mulai berpikir untuk menumpang di rumah Bu Yeni, atasanku. Yaa, dengan ikut membantu bayar listrik dan air tentunya. Dia kan hanya tinggal dengan dua orang adiknya, sedangkan papanya tinggal di luar pulau. Namun, aku berpikir ulang. Dengan posisi beliau sebagai atasan dan aku sebagai bawahan, membuatku sangsi. Dengan riwayat beliau yang suka “korslet” mendadak tanpa sebab yang jarang diketahui, pasti hubungan kami di rumah akan sangat tidak nyaman.  Pfft, aku pun mengurungkan niatku.
Aku menceritakan kegundahanku pada Nurul, partner kerjaku. “Coba rumah saya kamarnya tiga, kamu kan bisa tinggal di rumah saya gratis,” aku rasa dia hanya mencoba menghibur. Aku pun tidak memikirkan kemungkinan  tinggal di rumahnya, mengingat dia dan suaminya baru menikah beberapa bulan yang lalu. Dan pastinya mereka butuh lebih banyak privasi.
Aku jadi teringat sebuah film yang berjudul The Best Marigold Hotel yang bercerita tentang para lansia dari Inggris yang menghabiskan masa pensiunnya di sebuah hotel bobrok di India. Setiap para lansia itu mengeluhkan kondisi dan fasilitas hotel yang buruk, pengelolanya selalu menjawab “ Semua akan baik-baik saja pada akhirnya. Dan apabila keadaan belum juga membaik, maka itu bukan akhir.” Semoga saja :-)