Kamis, 20 Juni 2013
Bola-bola Ubi
Kali ini ane mau bagi resep sederhana yang tercipta secara tak sengaja.
Langsung aja kita mulai ^_^
Bahan-bahan:
250 gr ubi kukus, kupas dan haluskan
250 gr gula pasir
1 butir telur
2 sdm tepung terigu
1 putih telur
1 bks tepung panir
1/2 butir kelapa, parut
Garam, secukupnya
Vanili bubuk, secukupnya.
Cara membuat:
1. Campurkan semua bahan-bahan kecuali putih telur dan tepung panir, aduk hingga rata.
2. Setelah tercampur rata, bentuk adonan menjadi bulatan-bulatan sebesar bola pingpong.
3. Celupkan bulatan tadi ke dalam putih telur.
4. Lumuri dengan tepung panir.
5. Goreng dengan api sedang hingga coklat keemasan.
6. Angkat, sajikan.
Tips: Setelah ditiriskan, taruh kue dalam wadah yang terbuka sampai agak dingin agar menjadi agak keras dan garing. Apabila langsung dimasukkan ke dalam wadah tertutup atau plastik akan membuat kue menjadi lembek dan mudah hancur.
Rabu, 19 Juni 2013
Cita-cita
Cita-cita itu apa sih?
Dokter? Polisi? Astronot? Guru?
Punya mobil Bugatti?
Punya rumah di Karibia?
Atau jadi raja minyak di Arab?
Bisa jadi itu adalah cita-cita sebagian besar orang-orang di dunia ini.
Cita-cita antara anak-anak dan orang dewasa mempunyai perbedaan yang cuku mencolok. Dikarenakan anak-anak biasanya mengidolakan orang-orang yang mereka anggap keren, ditambah lagi dengan kepolosan dan masih sederhananya pengertian mereka tentang cita-cita, biasanya mereka akan cenderung punya cita-cita menjadi orang-orang keren tersebut. Ketiika anak-anak ditanya tentang cita-cita mereka, sebagian besar akan menjawab dengan mantap ingin menjadi Polisi, Tentara, Dokter, Pilot, dan kawan-kawan. Akan sangat jarang kita mendengar ada anak yang bercita-cita menjadi seorang pedagang pasar atau tukang sapu jalan.
Aku jadi teringat seorang muidku di sekolah. Anak ini mempunyai karakter dan kepribadian yang lumayan spesial dibandingkan anak-anak seusianya. Di saat anak-anak lain bercita-cita menjadi deretan orang keren, dia malah menyebutkan cita-cita yang agak tak lazim. Pertama kali ditanya tentang cita-citanya, dengan polos dia menjawab ingin menjadi Dinosaurus (what???). Aku hampir saja tertawa mendengarnya. Usut punya usut, ternyata dia punya seabreg mainan dan DVD dinosaurus. Ada-ada saja. Tak berselang lama, cita-citanya berubah. Dia inggin jadi anak pembantu (hahh??). Mungkin Ibunya akan shock mendengar anak kesayangannya malah ingin menjadi anak pembantunya. Yang terbaru, dia ingin menjadi Kupu-kupu (hewan lagi). Katanya, Kupu-kupu itu cantik dan lucu, baik lagi. Ya sudahlah, cita-cita yang sangat sederhana namun nampaknya tak akan mungkin jadi kenyataan.
Cita-cita akan menemukan bentuk riilnya ketika kita sudah mulai beranjak dewasa dan mempunyai kebutuhan yang lebih kompleks. Justru, di sinilah cita-cita itu menjadi sesuatu yang sangat sederhana. Sederhana, ketika kita mendapati Ibu kita sudah mulai berkurang penglihatannya, kita pun bercita-cita gajian bulan depan akan membelikan beliau sebuah kacamata. Saat melintasi sebuah hotel atau restoran mewah, kita bercita-cita suatu saat akan menjadi tamu di tempat tersebut minimal sekali seumur hidup kita.
Cita-cita orang dewasa, dengan segala kesederhanaannya, justru membuat saya bertanya, apakah cita-cita kita saat kecil dulu yang setinggi langit sudah tercapai, atau malah terkubur dalam akibat kejamnya kenyataan hidup yang kita hadapi, dan tergantikan dengan cita-cita sederhana oang dewasa?
Sekali lagi, cita-cita itu sederhana, sesederhana kayu yang berubah jadi arang ketika terkena api.
Selasa, 04 Juni 2013
Momentum
Melihat gambar ini apa yang muncul di benak anda?
The Matrix? Kamera DSLR supercanggih? ato Fotografer nomor wahid?
Sebaiknya, tepis saja perkiraan-perkiraan tadi. Karena ini hanya foto seorang suami pemalas yang dilempar oleh istrinya yang kesal. Kameranya pun hanya kamera HP kelas VGA. Dari gambar ini saya mendapatkan sebuah kesimpulan, bahwasanya kualitas yang bagus tidak melulu karena fasilitas yang wah, orang-orang super, atau lokasi yang sangat strategis. Akan tetapi karena ketepatan momen dan harmoni yang tercipta antara elemen-elemen pendukungnya.
Colek si LuLu, semoga segera punya kamera DSLR.
The Matrix? Kamera DSLR supercanggih? ato Fotografer nomor wahid?
Sebaiknya, tepis saja perkiraan-perkiraan tadi. Karena ini hanya foto seorang suami pemalas yang dilempar oleh istrinya yang kesal. Kameranya pun hanya kamera HP kelas VGA. Dari gambar ini saya mendapatkan sebuah kesimpulan, bahwasanya kualitas yang bagus tidak melulu karena fasilitas yang wah, orang-orang super, atau lokasi yang sangat strategis. Akan tetapi karena ketepatan momen dan harmoni yang tercipta antara elemen-elemen pendukungnya.
Colek si LuLu, semoga segera punya kamera DSLR.
Langganan:
Postingan (Atom)